Anak-anak

Kurma Adalah Makanan Pertama Yang Digunakan Untuk Mentahnik Bayi

Oleh
Abu Zubair Zaki Rakhmawan

Tahnik adalah mengunyah sesuatu lalu meletakkannya di langit-langit mulut bayi. Jika dikatakan : “hanakta ash-shabiyya” maksudnya adalah engkau mengunyah kurma, lalu meratakannya di langit-langit mulut bayi.

Dianjurkan yang mentahnik bayi adalah orang yang memiliki keutamaan, kebaikan dan ilmu. Dianjurkan pula agar memohonkan berkah untuk si bayi, sebagaimana hadits berikut ini.

Dari Abu Musa Al-Asy’ari, ia berkata.

“Artinya : Anak lelakiku baru saja lahir, lantas aku membawanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesampainya di hadapannya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya nama Ibrahim, lalu mentahniknya dengan kurma dan memohonkan keberkahan baginya, setelah itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam serahkan lagi kepadaku” [1]

Dalam hadits lain disebutkan.

Dari Asma binti Abu Bakar Ash-Shiddiq, ia bercerita saat mengandung Abdullah bin Zubair –(ia berkata)-, “Saat aku mengandung Abdullah aku masih tinggal di Makkah. Kemudian aku berangkat menuju Madinah, di tengah perjalanan aku terlebih dahulu singgah di Kuba dan ternyata aku melahirkan di sana. Lantas aku membawa anakku ke pangkuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau meminta kurma kemudian dikunyahnya, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meludah sedikit di mulut anakku. Itulah, benda yang pertama kali masuk ke perut anakku, yaitu ludah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah itu beliau mentahniknya dengan kurma (yang telah dikunyahnya) lalu berdo’a memohonkan keberkahan atasnya. Dan itulah bayi pertama yang dilahirkan dalam keadaan Islam (setelah hijrah ke Madinah dari keturunan orang-orang Muhajirin)” [2]

Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Ketika Abdullah bin Abi Thalhah dilahirkan, aku membawanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat kami menemuinya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berselimut kain besar sembari mengecat tanda pada untanya, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, ‘Apakah engkau membawa kurma?. ‘Ya’ Jawabku. Beliau mengambil beberapa butir buah kurma, mengunyahnya hingga lembut, lalu mentahniknya pada si bayi. Si bayi membuka mulutnya, lalu Nabi meludahkan sisa kunyahan kurma ke mulut si bayi. Selanjutnya bayi itu menjilatinya dengan ujung lidahnya. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Yang paling disukai dari orang-orang Anshar adalah buah kurma’. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nama bayi itu Abdullah” [3]

Cukuplah ketiga hadits tersebut sebagai penjelasan tentang sunnahnya tahnik.

Imam An-Nawawy rahimahullah –dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim- menjelaskan tentang faedah yang terkandung dalam hadits tersebut, di antaranya adalah.

  1. Anjuran mentahnik bayi yang baru dilahirkan. Tahnik ini adalah sunnah, berdasarkan ijma.
  2. Hendaknya yang melakukan tahnik adalah orang-orang yang shalih, baik laki-laki atau perempuan.
  3. Dianjurkan bahan untuk mentahnik adalah kurma. Jika tidak ada, maka selainnya pun dibolehkan namun kurma adalah lebih baik.
  4. Memberikan kesempatan kepada orang yang shalih dalam pemberian nama kepada si bayi sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang tuanya.[4]

Jadi, menurut beliau (Imam An-Nawawy) dibolehkan mentahnik dengan selain kurma, akan tetapi As-Sunnah hanya menyebutkan kurma sebagai bahan tahnik, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mentahnik Ibrahim bin Abi Musa, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Abi Thalhah. Maka, sebaiknya tidak mengganti kurma dengan bahan lainnya.

KURMA SEBAGAI CONTOH DALAM BERSHADAQAH
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh dengan kurma ketika memerintahkan umat ini untuk bershadaqah, sebagaimana hadits.

“Artinya : Barangsiapa yang bershadaqah sebanding dengan satu kurma dari penghasilan yang baik, sedangkan Allah tidaklah menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah menerima (shadaqah) dengan tangan kanan-Nya [5], kemudian mengembangkannya/membesarkan bagi orang yang bershadaqah, sebagaimana seorang di antara kalian membesarkan anak kuda, bahkan sampai menjadi seperti gunung” [6]

Hadits ini menunjukkan tentang shadaqah yang dilipatgandakan oleh Allah dengan ganjaran yang sangat besar.

Al-Qadhi Iyadh rahimahullaah memberikan penjelasan bahwa sesuatu itu diterima dengan penuh keridhaan apabila dilakukan dengan tangan kanan, hal ini menunjukkan tentang diterimanya dan diridhainya shadaqah. [7]

Hadits ini menunjukkan bahwasanya satu kurma saja yang didapatkan dari penghasilan yang halal kemudian dishadaqahkan, maka itu menjadi berlipat ganda ganjarannya bahkan dilipatgandakan oleh Allah dengan ganjaran yang besar seperti gunung.
Pada kesempatan yang lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barangsiapa di antara kalian yang mampu untuk berlindung diri dari api Neraka walaupun hanya dengan sebutir tamr (kurma), maka lakukanlah” [8]

Imama An-Nawawi rahimahullaah dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan makna hadits tersebut dengan berkata, “Hadits ini menunjukkan kepada anjuran untuk shadaqah dan tidak mempermasalahkan seberapa besarnya, karena dengan shadaqah yang sekecil itu pun (sebutir tamr) telah dapat melindungi diri dari api Neraka”[9]

Inilah salah satu bukti kesitimewaan dari kurma yang telah dijadikan perumpamaan yang mulia, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

KURMA DIGUNAKAN DALAM DEFENISI ORANG-ORANG YANG TERMASUK KATEGORI MISKIN
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Orang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling di sekitar orang lain dan meminta kepada mereka sesuap atau dua suap makanan atau pun sebutir atau dua butir kurma. Namun yang dimaksud orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai kekayaan harta untuk mencukupi kehidupannya, dan (dengan kondisinya seperti itu) ia tidak minta agar orang lain memberikan shadaqah kepadanya dan tidak pula berdiri senantiasa meminta-minta kepada manusia” [10]

Dalam lafazh lain yang tercantum dalam Shahih Al-Bukhari, yaitu.

“Artinya : Orang miskin bukanlah orang yang meminta sesuap atau dua suap makanan dari orang lain namun orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai kekayaan apa-apa dan ia malu untuk meminta-minta, ia pun tidak meminta kepada orang lain secara mendesak” [11]

[Disalin dengan sedikit penyesuaian dari buku Kupas Tuntas Khasiat Kurma Berdasarkan Al-Qur’an Al-Karim, As-Sunnah Ash-Shahihah dan Tinjauan Medis Modern, Penulis Zaki Rahmawan, Pengantar Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Media Tarbiyah – Bogor, Cetakan Pertama, Dzul Hijjah 1426H]
__________
Foote Note

  1. HR Al-Bukhari (no. 5467) dan Muslim (no. 2145)
  2. HR Al-Bukhari (no. 3909, 5469) dan Muslim (no. 2146)
  3. HR Al-Bukhari (no. 5470), Muslim (no. 2144), Abu Dawud (no. 4951), Ahmad (III/105-106) dan yang lainnya.
  4. Syarh Shahih Muslim (XIV/123-124) oleh Imam An-Nawawy cet. Daar Ibnul Haitsam, th. 2003M, Kairo Mesir
  5. Biyaminihi maksudnya sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Bazzar adalah dengan tangan kanan-Nya. Lihat penjelasan tentang Yataqabbaluha bi yamiinihi dalam Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany (III/279).
  6. HR Al-Bukhari (no. 1410), Muslim (no. 1014) Ahmad (II/331), At-Tirmidzi (no. 661), Ibnu Majah (no. 1842), Ad-Darimi (no. 1677), dan yang lainnya dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, lafazh hadits ini milik Imam Al-Bukhari. Hadits ini diberikan keterangan lengkap oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil fi Takhrij Ahaadits Manaaris Sabiil (III/393 no. 886) cet. II, Al-Maktab Al-Islamy, th. 1405H
  7. Lihat Syarh Shahih Muslim (VII/98-99) oleh Imam An-Nawawy, cet Daar Ibnu Haitsam, th. 2003H
  8. HR Al-Bukhari (no. 6023), Muslim (no. 1016 (66)), At-Tirmidzi (no. 2415) dari Sahabat Adiy bin Hatim.
  9. Syarh Shahih Muslim (VII/100-101) oleh Imam An-Nawawy, cet. Daar Ibnu Haitsam, th.2003
  10. HR Al-Bukhari (no. 1479), Muslim (no. 1039), lafazh ini milik Al-Bukhari dan diriwayatkan pula oleh Abu Dawud (no. 1631), An-Nasa’i (no. 2572) dan Ad-Darimi (no. 1618), dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
  11. HR. Al-Bukhari (no. 1476) dari Abu Hurairah

Dikutip dari: almanhaj.or.id